Hero

Refleksi 1 Muharram 1438 H: Menuju Sharing Based Economy

oleh: Sugeng Priyono*


Syariahsaham.com, DEPOK -- Kita prihatin menyaksikan fakta bahwa keadilan nyaris pupus dari nawa cita warga dunia, kesenjangan yang semakin meningkat antara kelompok kaya (the Have) dan kelompok miskin, demikian hasil riset the New Economics Foundation dan Human Development Report 2016.
Belum lagi penelitian Anup Shah (2008) menyatakan 3 milyar manusia hidup dengan pendapatan di bawah 2 dolar AS/hari, 1 dari 2 anak hidup dalam kemiskinan, dan GDP 41 negara miskin sama dengan kekayaan 7 orang terkaya di dunia.

Krisis keuangan global selalu saja berulang, lihat saja siklus krisis dalam 20 tahun terakhir semakin meningkat. Eropa dan AS terancam resesi berkepanjangan. Ditengarai krisis global belum mau berakhir, instabilitas pasar keuangan dunia semakin meningkat, ditambah defisit anggaran negara-negara maju.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Mudrajad Kuncoro menyimpulkan bahwa 40% kelompok termiskin masyarakat menikmati share pertumbuhan ekonomi sebesar 20,92% pada tahun 2000, dan turun menjadi 19,2% pada 2016.

Sementara 20% kelompok terkaya masyarakat menikmati share pertumbuhan ekonomi sebesar 42,19% pada tahun 2000, kemudian naik menjadi 45,72% pada 2016. Artinya kesenjangan semakin meningkat.

Pertumbuhan kelompok super-kaya Indonesia (16 persen tahun lalu) adalah yang ketiga tertinggi di Asia Pasifik setelah China dan India.

Dengan demikian kita dapat menarik istinbat bahwa pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah dan atas sehingga gagasan economic growth with equity masih jauh dari asa.

Mengapa Konsep Ekonomi Kapitalis malah memperbesar angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan? Kita mafhum bahwa keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh pendekatan kebijakan yang digunakan.

Selama ini pendekatan kebijakan distribusi ekonomi didasarkan pada dua mazhab, yaitu mazhab klasik (ortodoks) dan mazhab strukturalis. Mazhab klasik (ortodoks) menekankan pada keseimbangan alokasi sumberdaya dan pasar bebas (tidak ada peran negara).

Sedangkan Mazhab strukturalis menekankan pentingnya peran negara dalam meredistribusikan pendapatan dan kekayaan.

Kita pun tahu bahwa Mazhab klasik menggunakan capitalism-based approach, sedangkan mazhab strukturalis menggunakan socialism-based approach, singkat kata dua-duanya gagal, kenapa?


Menurut riset KA Ishaq (2003), salah satu penyebab kegagalan pembangunan di negara-negara berkembang dewasa ini adalah akibat diabaikannya instrumen pembangunan yang sesuai dengan agama dan budaya lokal.

Disinilah urgensinya mengembangkan instrumen zakat, infak dan sedekah (ZIS) dalam kebijakan pembangunan nasional (catatan penulis, Baznas mengabarkan potensi zakat kita mencapai 217 trilyun per tahun tetapi perolehannya baru mencapai 2,3 trilyun).

Logika ekonomi zakat; zakat, infak dan shodaqoh jelas membela kaum dhuafa, meningkatkan daya beli dhuafa, tentu akan meningkatkan aggregate demand, dan pada gilirannya mendorong pertumbuhan supply yang tentu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Hal tersebut hemat saya diamini oleh trend dunia saat ini yang menuju “sharing based economy”. Prof Yonchai Benkler (Harvard University) mengatakan bahwa sharing atau semangat berbagi merupakan modalitas yang paling penting untuk meningkatkan produksi ekonomi.

Semangat “berbagi” adalah solusi untuk mengatasi masalah ekonomi termasuk resesi (Swiercz dan Smith, Georgia University).

Mudah mengatakan tetapi sulit melaksanakannya bukan?

*Penulis adalah mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah, konsentrasi Ekonomi Islam. Awardee LPDP Batch IX

Untuk berlangganan, silakan masukkan email:

0 Response to " Refleksi 1 Muharram 1438 H: Menuju Sharing Based Economy "

Posting Komentar