Hero

Budi Hikmat: Saham Seperti Domba


Teman, selama sharing session, saya kerap menerima pertanyaan sangat mendasar, seperti apa itu saham dan apakah bermain saham itu halal?

Sebelum menjawab, saya ingatkan penanya agar hati-hati memilih kata. Sebab terkait saham saya tidak menggunakan kata "bermain" tapi berinvestasi. Jadi jangan mengarah kepada aksi main-main, tetapi semua untuk merancang kemakmuran.

Lalu apa hubungannya dengan domba, yang kini lagi viral setelah bersolek pakai hijab? Dan mengapa disamakan dengan saham.

Saya tidak pernah melupakan perumpamaan rada sadis dosen Ekonomi Moneter saya di FEUI, Prof Anwar Nasution ketika beliau tahu saya meniti karir di pasar modal, "Alah, Budi tempat kau kerja ndak beda seperti pasar kambing. Cuma kau pakai dasi dan minyak wangi..."

Saya hanya tersenyum. Sebab perumpamaan itu hakikatnya benar. Dulu memang saya kerap pakai kemeja berdasi. Kini lebih suka berbatik.

Coba bayangkan pada ketika Nabi Muhammad SAW mencari nafkah halal dengan mengembalakan domba milik seorang saudagar yang tinggal di kota. Anggap saja dulu si saudagar membeli seekor domba dengan harga, asumsikan saja ya, 500 dirham (ndak usah pake dinar, dollar atau rupiah).

Nabi sendiri sangat amanah dan bertanggung jawab menggembalakan ternak. Selain menggiring ke padang rumput agar ternak bisa makan, Nabi juga menjaga mereka dari ancaman binatang buas. Namun yang terpenting dari semuanya, Sang Nabi tidak pernah khianat menilep atawa memakan hewan lalu berdusta dengan memberitahukan kepada pemilik bahwa hewan mati sakit atau dimakan predator.

Saudagar pemilik hewan mendapat banyak manfaat, baik berupa susu, anak hingga kotoran untuk pupuk. Dalam dunia pasar modal, manfaat seperti ini disebut dividen.

Kini hewan yang besar dan sehat dapat mudah dijual dengan harga yang lebih tinggi. Sebut saja 1200 dirham. Kenaikan harga inilah yang kini disebut sebagai capital gain.

Jadi total keuntungan investor berupa dividen dan capital gain. Namun harus juga ingat ada risiko capital loss bila harga saat ini lebih rendah dibanding harga beli.

Dalam dunia modern, domba tersebut bisa dikenal dengan kode TLKM, UNVR, BBCA**, ASII, GGRM** atau BUMI**. He he he, coba tebak kode tersebut mewakili emiten (perusahaan penerbit saham apa saja?). Investor sebagai pemilik saham buanyak, tidak hanya seorang, bisa dari dalam maupun luar negeri.

Sedang penggembalanya dikenal sebagai professional dengan credential seperti MBA, CFA, SE, CPA hingga PhD yang bekerja sebagai CEO, CFO atau CIO. 

Namun, apapun gelar dan jabatan, faktor integritas dan profesionalitas menjadi penentu utama keberhasilan mereka untuk memberikan nilai tambah kepada pemilik perusahaan. Jadi bukan memperkaya diri sendiri.

Bila dulu saudagar perlu menjual ternak, mereka mungkin masih perlu membawa segerombolan hewan berkeliling menemui calon pembeli. Kini beda!

Sebab ada pasar skunder dimana penjual dan pembeli dapat bertransaksi dalam volume besar tanpa bertatap muka. Tanpa perlu berpanas-panas ria. 

Pasar sekunder ini memang ditujukan untuk penciptaan likuiditas. Sebab yang beruntung hakikatnya yang sudah mencairkan potensi keuntungan berinvestasi menjadi cash. Di pasar sekunder, investor yang kelebihan likuiditas dan menilai asset masih memiliki upside potential bertemu dengan penjual yang membutuhkan likuiditas.

Urusan halal atau haram saham, nampaknya tidak hanya terkait dengan pemilihan sektor etikal yang sesuai dengan kode moral agama. Namun, terkait aktivitas perdagangan yang demikian cepat yang lebih mengarah kepada tebak-tebakan seperti judi.

Sangat bisa jadi hal ini sebagai akibat masyarakat yang lebih karib dengan perusahaan sekuritas (broker) ketimbang fund manager. Keuntungan broker lebih banyak ditopang oleh volume transaksi baik jual maupun beli. 

Masyarakat dianjurkan untuk aktif melakukan transaksi, termasuk melalui analisis teknikal. Kadang juga ada broker yang nakal dengan menyarankan masyarakat investor kecil untuk membeli sebab, tanpa banyak orang tahu, ada investor besar yang ingin keluar. Ya beli barang muntahan gitu.

Biaya trading cenderung mahal tanpa jaminan target asset seperti untuk dana pensiun tercapai. 

Saya menyarankan keseimbangan, ada yang dikelola sendiri untuk saham yang dimengerti valuasi dan prospek bisnisnya. Namun ada bagian yang dipercayakan kepada fund manager.

Dalam framework, perencanaan kemakmuran ala Nabi Yusuf, masyarakat cukup melakukan investasi secara berkala dengan aturan alokasi secara bertahap. Berkala maksudnya menempatkan semisal 2,5% pendapatan bulanan untuk membayar masa depan (pay yourself first). Sementara bertahap seperti mengikuti acuan alokasi growing asset (100 - umur).

Saya kerap melakukan evaluasi per enam bulan. Seperti menanam, jangan biarkan buahnya busuk. Lakukanlah asset rebalancing dengan disiplin mengambil untung untuk dialihkan guna membeli asset yang lain. Dana hasil penjualan domba dapat digunakan membeli ayam, hingga cicilan membeli rumah...

**) Saham non-ISSI
Salam

Untuk berlangganan, silakan masukkan email:

0 Response to " Budi Hikmat: Saham Seperti Domba "

Posting Komentar